ProPosal Skripsi *Pendekatan CTL dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Arab Siswa*
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Selama
ini hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghafal fakta-fakta.
Walaupun banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap
materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka sering tidak memahami
secara dalam subtansi materinya (Nurhadi dan Senduk, 2003:3).
Depdiknas
(2002:1) menyatakan sebagian besar siswa tidak mampu menguhubungkan antara apa
yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu akan dimanfaatkan atau
digunakan. Siswa mengalami kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana
mereka biasa diajarkan, yaitu menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode
ceramah. Mereka sangat butuh untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan
dengan tempat kerja dan masyarakat pada umumnya mereka akan hidup dan bekerja
(dalam Nurhadi dan Senduk, 2003:3).
Hal
ini kontras dengan pendekatan kontekstual atau yang kita kenal sebagai
pendekatan CTL. Contextual
Teaching And Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang
menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan
peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan
menerapkan ..... dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2009:102).
Pembelajaran
CTL merupakan konsep mengajar dan belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat ( Nurhadi, 2002:1).
Permasalahan
pembelajaran yang hanya sebatas menghafal materi banyak ditemukan pada setiap
proses pembelajaran di sekolah, termasuk juga pembelajaran bahasa Arab. Bahasa
Arab merupakan bahasa asing yang belum dikenal oleh peserta didik sejak kecil.
Menurut Al-Ghalayain (dalam Nuha, 2012:31), bahasa Arab
adalah kalimat-kalimat yang dipergunakan oleh orang Arab untuk mengungkapkan
tujuan dan pikiran mereka. Bahasa Arab member banyak kosakata kepada bahasa
lain dari dunia Islam, sama seperti peranan Latin kepada kebanyakan bahasa
Eropa.
Bahasa Arab merupakan sebuah bahasa yang terbesar dari
segi jumlah penutur dalam keluarga bahasa semitik. Bahasa Arab berkerabat dekat
dengan bahasa Ibrani dan bahasa Aram. Bahasa ini adalah bahasa resmi dari 25
negara, dan merupakan bahasa peribadatan dalam agama Islam karena merupakan bahasa yang dipakai
oleh Al-Qur'an. Bahasa Arab modern telah diklasifikasikan sebagai satu
makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dalam ISO 639-3
(Nuha, 2012:32).
Bahasa Arab sudah diajarkan di Indonesia sejak Islam
tersebar di Nusantara ini, yaitu kira-kira abad ke 13 M. Dahulu, pengajaran
bahasa Arab hanya sekedar untuk mendalami al-qur’an dan as-sunnah. Akan tetapi
seiring berkembangnya zaman, saat ini pembelajaran bahas Arab di Indonesia
dudah dimulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi (Nuha,
2012:55).
Belajar bahasa Arab bukan hal yang
mudah dan juga bukan hal yang sulit, semua tergantung pada individu, strategi
pembelajaran, dan seluruh aspek dalam pembelajaran itu sendiri. Karena tujuan
dari pembelajaran bahasa Arab bukan hanya sekedar materi. Namun, saat ini
pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru
sebagai utama pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam
menentukan strategi belajar. Sehingga guru mengabaikan pengetahuan awal siswa.
Padahal seorang guru perlu membuat siswa agar lebih aktif dan kretif. Untuk itu
diperlukan suatu pendekatan belajar yang memberdayakan siswa. Salah satunya
adalah pendekatan CTL (Qoriah, 2013, Manajemen
Pembelajaran Bahasa Arab dengan Pendekatan Kontekstual (CTL) di sekolah SMA IT
Abu Bakar. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Dan selama ini proses pembelajaran
bahasa Arab masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru. Pelajaran
simulai dari konsep dan rumus dan definisi kemudian dilanjutkan dengan
memberikan contoh, setelah siswa mempelajari contoh yang diberikan oleh guru,
siswa diberikan soal yang sama seperti contoh yang telah dikerjakan oleh guru.
Pada soal yang sama dengan contoh soal, siswa pada umumnya tidak mengalami
kesulitan. Mereka akan mengalami kesulitan jika diberikan soal yang berbeda
dengan contoh soal. Hal ini terjadi karena siswa cenderung menghafal, tidak
hanya pada konsep dan definisi, tetapi juga pada cara penyelesaian soal-soal
yang diberikan (Sumarion, Model
Pendekatan Contextual Teaching And Learning dalam Pembelajaran bahasa Arab
dikelas XI IPS 2 MAN Wates I Kulonprogo, Skripsi tidak diterbitkan,
Yogyakarta, Jurusan Kependidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Kurikulum Bahasa Arab merupakan
kurikulum dasar dengan alokasi waktu yang sangat terbatas. Kurikulum ini
menuntut siswa berperan aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dalam kelas
bahasa Arab, siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan membaca,
menulis, mengungkapkan pendapat, membandingkan dan mendiskusikan suatu teks.
Siswa didorong untuk mempelajari suatu konsep dan berpikir secara kritis
mengenai dunia global. Dengan tujuan dan
harapan yang besar ini, maka dibutuhkan usaha yang keras dari berbagai pihak,
baik dari pihak guru maupun murid. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu metode
dan teknik pengajaran dan pembelajaran bahasa asing mengalami perkembangan
sesuai dengan berkembangnya pemikiran para ahli pengajaran bahasa, bahkan hasil-hasil
penelitian dalam bidang pengajaran bahasa tersebut memberikan kontribusi kepada
lahirnya pendekatan dan metode baru dalam pengajaran bahasa. Salah satu metode pendekatan yang menjadi
topik hangat dalam dunia pendidikan adalah pembelajaran kontekstual, atau juga
dikenal dengan istilah Contextual
Teaching And Learning (Latifa, Aini. 2012. Teknik Pembelajaran Bahasa Arab, http://ainilatifah.blogspot.com
, diakses
pada 03 Juni 2013).
Menurut
Fuad Efendy, CTL banyak memiliki kesamaan prinsip dan karakteristik dengan
pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional telah
lama mengembangkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran secara umum, hal
ini sebagai upaya menjawab berbagai persoalan pendidikan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia. Sebagai salah satu
pendekatan pembelajaran, CTL dapat diterapkan dalam semua pelajaran, termasuk
bahasa Arab (Latifa,
Aini. 2012. Teknik Pembelajaran Bahasa
Arab, http://ainilatifah.blogspot.com , diakses pada 03 Juni 2013).
MTs Miftahul Ulum Manggis Agung Desa
Manggisan Kecamatan Tanggul merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang
juga mempunyai tanggung jawab dalam rangka mewujudkan cita-cita pendidikan,
dalam hal ini sudah tentu menjadi keharusan bagi lembaga maupun pendidik untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam bidang bahasa Arab, karena
mengingat letak geografis MTs
Miftahul Ulum Manggis Agung Desa Manggisan Kecamatan Tanggul berada di dalam
lingkungan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Manggisan.
Di samping
itu jika dalam pembelajaran bahasa Arab
metode yang digunakan itu metode ceramah, dan siswa hanya mendengarkan dan
menjawab pertanyaan guru kemudian mengerjakan soal, maka akan menyebabkan
kondisi belajar mengajar akan monoton dan
pasif serta membangun pola pikir yang kurang optimal. Permasalahan ini
menyebabkan rendahnya kemampuan bahasa Arab siswa terutama kemampuan berbicara,
sebab sering kali siswa merasa tidak percaya diri untuk mengungkapkan
gagasannya dengan bahasa Arab. Berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang
aktif dan produktif sehingga sangat mendukung dalam meningkatkan kemampuan
bahasa Arab siswa. Karena siswa tidak hanya memahami tapi mempraktekannya. Maka
pembelajaran bahasa Arab dapat dimulai dengan memulai melalui percakapan,
meskipun dengan kata-kata yang sederhana tapi dapat dipahami oleh peserta
didik.
Berpangkal
dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk membuat judul “
Meningkatkan Bahasa Arab Siswa Melalui
Pendekatan Contextual Teaching And Learning pada Kelas VIIIB di MTs
Miftahul Ulum Tanggul”.
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan judul penelitian
diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana pendekatan Contextual Teaching
And Learning (CTL) dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Arab Siswa
pada kelas VIII B di MTs Miftahul Ulum Tanggul?”.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
diatas, maka tujuan penelitian ini adalah “Untuk mengetahui bagaimana
pendekatan Contextual Teaching And
Learning (CTL) dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Arab siswa pada kelas
VIII B MTs Miftahul Ulum Tanggul”.
1.4 Definisi Istilah
1.4.1
Contextual Teaching And Learning
Pendekatan
CTL merupakan pendekatan antara kehidupan nyata dengan materi pembelajaran yang
ada. Dengan pendekatan CTL siswa menjadi aktif dan suasana kelas lebih hidup
karena dalam pendekatan CTL bukan hanya guru mengajar tapi siswa juga belajar
mengkaitkan ilmu pengetahuan dengan keadaan nyata dalam masyarakat dan
keluarga.
Komponen
pendekatan CTL yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kontruktivisme,
menemukan, bertanya, dan masyarakat belajar.
1.4.2
Bahasa Arab
Bahasa Arab merupakan bahasa tertua
dan bahasa utama agama. Oleh karena itu penting bagi umat islam untuk
memahaminya. Dalam pembelajaran bahasa Arab, kata kemampuan mencakup
empat komponen yaitu : kemampuan menyimak, kemampuan berbicara, kemampuan
membaca, dan kemampuan menulis. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada salah
satu kemampuan siswa yaitu kemampuan berbicara.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat-manfaat yang diantaranya adalah :
a. Bagi guru dan sekolah sebagai bahan masukan
dalam menentukan pendekatan pembelajaran yang tepat dalam rangka meningkatkan
kualitas pembelajaran bahasa Arab.
b. Bagi
Penulis dan Pembaca, sebagai motivasi dan acuan dalam meningkatkan mutu
pendidikan serta sebagai penambah pengetahuan untuk dapat diimplementasikan
pada pembelajaran guna menciptakan mutu pendidikan yang berkualitas.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada implementasi CTL dalam meningkatkan kemampuan berbahasa arab siswa. Variabel dari penelitian ini adalah pendekatan Contextual Teaching And Learning sebagai variabel bebas dan berbahasa Arab (Maharatul Kalam) sebagai variabel terikat. Penelitian ini di lakukan pada siswa kelas VIII di MTs Miftahul Ulum Tanggul yang berada dalam naungan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Tanggul.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Contextual Teaching And Learning (CTL)
2.1.1
Pengertian
CTL
Contextual Teaching And Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan
antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata,
sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan ..... dalam
kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2009:102).
CTL adalah sebuah sistem yang merangsang otak
untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem
pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan
muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa (Johnson,
2012:58).
Dengan demikian, siswa
belajar diawali dengan pengetahuan, pengalaman, dan konteks keseharian yang
mereka miliki yang dikaitkan dengan konsep mata pelajaran yang ada dikelas, dan
selanjutnya dimungkinkan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan
keseharian mereka (Nurhadi dan Senduk, 2003:7).
Dengan konsep itu hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke
siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil belajar. Hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan,
berfikir kritis, dan melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam
jangka panjang.
Dalam pembelajaran kontekstual tugas guru adalah
memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dan menyediakan berbagai
sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi
pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan belajar yang
kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual dan
keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan (Mulyasa, 2009:103).
2.1.2
Karakteristik
CTL
Karakteristik
pembelajarn berbasis CTL menurut Nurhadi (dalam Hobri 2008:22) meliputi
kerjasama, saling menunjang, menyenangkan tidak membosankan, belajar dengan
bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif,
sharing dengan teman, siswa kritis dan guru kreatif, dinding kelas dipenuhi
hasil katya siswa, dan laporan kepada orang tua bukan hanya raport tapi hasil
karya dan nilai prkatikum siswa.
Menurut
Hobri (2008:23) bahwa ada beberapa karakteristik pembelajaran berbasis
kontekstual, yaitu:
1. Pembelajaran
bermakna
2. Adanya
keterkaitan yang kuat antara materi yang dipelajari dengan dunia nyata
3. Siwa
bersikap kritis dan guru kreatif dan inovatif
4. Penilaian
menggunakan authentic assessment.
Sementara
itu, Rustana dalam (Hobri, 2008:23) berpendapat bahwa ada enam karakteristik
dalam pembelajaran kontekstual yaitu: (1) pembelajaran bermakna, (2) penerapan
pengetahuan, (3) berfikir tingkat tinggi, (4) kurikulum yang dikembangkan, (5)
responsive terhadap budaya, dan (6) penilaian autentik.
Dalam
hal ini karakteristik yang digunakan adalan karakteristik CTL menurut Hobri
yang terdiri dari empat aspek, yaitu pembelajaran bermakna, adanya keterkaitan
kuat antara materi dengan dunia nyata, siswa kritis dan guru kreatif, serta
penilaian sebenarnya.
2.1.3 Komponen utama CTL
Nurhadi (dalam Hobri, 2008:24), menyebutkan bahwa pembelajaran CTL harus
melibatkan tujuh komponen utama. Ketujuh komponen utama tersebut adalah:
1. Kontruktivisme (Contructivism )
Kontruktivisme
(Contructivism) merupakan landasan berfikir pembelajaran CTL, yaitu
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata (Nurhadi dan
Senduk, 2003:33).
Esensi
dan Teori Kontruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, apabila
dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu,
pembelajaran harus dikemas menjadi proses "mengkontruksi" bukan
"menerima" pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun
sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi
pusat kegiatan bukan guru (Nurhadi dan Senduk, 2003:33).
Teori
kontruktivisme menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri.
Karena penekanannya pada siswa yang aktif, maka kontruktivisme sering disebut
pengajaran yang berpusat pada siswa (student
centered instruction). Didalam kelas yang pelajarannya berpusat pada siswa,
peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi
diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh
kegiatan dikelas (Nurhadi dan Senduk, 2003:10).
Dalam
pandangan Konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang semakin dalam dan
kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Struktur pengetahuan
dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah pengetahuan baru dibangun atas dasar pengetahuan
yang sudah ada, sedangkan akomodasi adalah pengetahuan yang sudah ada
dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengetahuan baru.
Jadi
pembelajaran yang mengacu pada teori ini lebih menekankan pada kesukesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalamannya. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan
untuk merekontruksi sendiri pengetahuan melalui asimilasi dan akomodasi
(Masitoh, 2009, Kontruktivisme Dalam
Pembelajaran Bahasa Arab, Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta, Fakultas
Pendidikan Bahasa Arab UIN Yogyakarta).
Dengan
komponen ini Guru Bahasa Arab dapat menerapkan pembelajaran yang memberikan
keleluasaan berfikir, berbuat sehingga siswa dapat menkonstruksi sendiri
pengetahuan mereka disesuaikan dengan pengalaman sebenarnya.
2. Menemukan ( Inquiry ).
Menurut Suyanto (dalam Hobri, 2008:26) menemukan (inquiry) merupakan
bagian inti dari pembelajaran CTL. Guru harus selalu merancang kegiatan yang
merujuk pada kegiatan menemukan daik dalam membaca dan berbicara apapun meteri
ang diajarkan.
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan berbasis
CTL Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Inqury
ini dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran, dimana dalam kegiatan
penemuannya mereka harus melakukan terkaan, dugaan, perkiraan dan usaha lainnya
dengan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Siklus inquiry menurut Nurhadi (2003:44) meliputi: (1)
Observasi (Observation), (2) Bertanya (Questioning), (3)
Mengajukan dugaan (Hipothesis), (4) Pengumpulan data (Data
gathering), dan (5) Penyimpulan (Conclusion).
Komponen menemukan merupakan salah satu metode mengajar guru bahasa arab
untuk merangsang siswa melakukan penemuan. Diharapkan dalam belajarnya ia
menemukan sendiri sesuatu hal yang baru. Dengan contoh siswa dapat menemukan
sendiri metode atau cara menghafal mufradat
dengan cepat, membedakan dan melafalkan intonasi yang benar dan lain
sebagainya.
3. Bertanya ( Questioning ).
Bertanya adalah induk dari strategi Pembelajaran CTL, awal dari pengetahuan,
jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dalam pembelajaran. Pengetahuan
yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari “bertanya“. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan
bagian penting dalam pelaksanaan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu
menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya adalah suatu strategi
yang digunakan secara aktif oleh siwa untuk menganalisis dan mengeksplorasi
gagasan-gagasan. Pertanyaan-pertanyaan spontan yang diajukan siswa dapat
digunakan untuk merangsang siswa berfikir, berdiskusi, dan berespekulasi.
Pertanyaan dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, berbagai macam bentuk,
dan berbagai macam jawaban yang ditimbulkannya (Nurhadi,
2003:45).
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan berguna untuk menggali
informasi, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon, mengetahui sejauh
mana keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa,
memfokuskan perhatian siswa, membangkitkan lebih banyak pertanyaan dari siswa,
dan menyegarkan kembali pengetahuan siswa (Hobri, 2008:28)
Dalam pembelajaran bahasa Arab bertanya adalah suatu strategi yang
digunakan secara aktif oleh siswa atau guru untuk menganalisis dan
mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pertanyaan-pertanyaan spontan yang diajukan
siswa dapat digunakan untuk merangsang siswa berfikir, berdiskusi, dan
berespekulasi. Pertanyaan dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, berbagai
macam bentuk, dan berbagai macam jawaban yang ditimbulkannya.
4. Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Konsep masyarakat belajar menyarankan
agar hasil pembelajaran yang diperoleh siswa merupakan hasil kerja sama dengan
orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antar teman, antar
kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu (Hobri, 2008:29).
Masyarakat belajar dapat tercipta
apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan
masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan
sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Metode
pembelajaran dengan tehnik Learning Community ini sangatlah membantu
proses pembelajaran dikelas. Praktek pembelajarannya dapat berwujud dalam
bentuk:
a)
Pembentukan kelompok kecil,
b)
Pembentukan kelompok besar,
c)
Mendatangkan ahli ke kelas (Ulama Arab,Cendikiawan,
Instruktur bahasa Arab dan lain-lain),
d)
Bekerja sama dengan kelas sederajat,
e)
Bekerja kelompok dengan kelas diatasnya,
f)
Bekerja dengan masyarakat (Nurhadi, 2003:49).
5. Pemodelan ( Modelling )
Pemodelan
pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonsrasikan bagaimana
guru menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru
inginkan agar siswa-siswanya melakukan. pemodelan dapat berbentuk demonstrasi,
pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Dengan kata lain, model
itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara guru menerangkan dengan
mengunakan alat peraga atau cara guru memberi contoh cara mengajarkan sesuatu.
Dengan begitu, guru memberi model bagaimana cara belajar (Nurhadi 2003:49).
Model
yang dapat digunakan adalah “real world” atau dunia nyata dan
aplikasinya. CTL is the integration of knowledge into real life application.
It is the translation of theoretically-bassed pendagogy into practice. It is
the framework wherein which those who are facilitated in their connecting what
is learned to the real world. Hal ini menunjukkan bahwa model dalam
pembelajaran dapat berupa benda-benda nyata dalam dunia siswa (Hobri, 2008:31)
Dalam
pembelajaran bahasa arab pemodelan yang dimaksud adalah kehidupan nyata mereka
yaitu tentang pekerjaan orang tua dan cita-cita mereka dimasa depan. Dan siswa
pun mendemontrasikannya.
6. Refleksi ( Reflection )
Menurut Nurhadi (2003:51)
refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru atau berfikir
kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan
dimasa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau
pengetahuan yang baru saja diterima. Refleksi merupakan respon terhadap
kejadian, aktifitas atau pengetahuan yang baru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh
dari proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperoleh melalui konteks
pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang
dewasa membatu siswa membuat hubungan hubungan antar pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu siswa merasa memperoleh
sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Kunci
dari itu semua adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap dibenak siswa. Siswa
mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide baru (Nurhadi
dan Senduk, 2003:51).
Guru bahasa Arab dapat mengarahkan
siswa membuat hubungan hubungan antar pengetahuan yang dimiliki sebelumnya
dengan pengetahuan yang baru, selain itu juga mencatat mencatat apa yang telah
dipelajarinya.
7.
Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assessment
)
Authentic Assessment
merupakan prosedur penilaian pada pembelajaran CTL. Assessment adalah
proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan
belajar siswa. Gambaran pengetahuan siswa perlu diketahui guru agar bisa
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Pembelajaran
yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu
mempelajari sesuatu bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin
informasi diakhir priode pembelajaran. Karena Assessmenst menekankan pada proses pembelajaran, maka data yang
dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat
melakukan proses pembelajaran. Data-data yang diperoleh tersebut di sebut data Authentic
(Nurhadi, 2003:52 ).
Penilaian Authentic merupakan
penilaian yang berusaha mengukur atau menunjukkan pengetahuan keterampilan
siswa dengan cara menerapkan pengetahuan
dan keterampilan pada kehidupan nyata (Siswono dalam Hobri, 2008:32).
Johnson (2008:333) memaparkan
keuntungan dari penilaian yang terikat pada konteks dan penuh makna sudah
terlihat jelas. Pertama, proses belajar tetap berjalan saat penilaian
dilakukan. Kedua, karena tugas penilaian autentik mengharuskan siswa untuk
menerapkan pengetahuan yang sudah didapatkan sebelumnya guru dapat membedakan
antara apa yang sudah dihafalkan siswa dan apa yang sudah mereka dalami.
Ketiga, penilaian berdasarkan konteks menjadikan berbagai jalan yang memiliki
satu tujuan sama-sama valid.
Komponen-komponen ini merupakan proses pengumpulan berbagai
data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran
pengetahuan siswa perlu diketahui oleh guru bahasa arab agar bisa memastikan
bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan baik dan benar. Pembelajaran
bahasa Arab yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar
mampu mempelajari sesuatu bukan ditekankan pada nilai yang diperolehnya, akan
tetapi pada perkembangan kemampuannya.
Dan dalam penelitian ini komponen CTL
yang digunakan meliputi: kontruktivisme, pemodelan, dan masyarakat belajar.
2.1.4
Pembelajaran
CTL
Banyak cara efektif untuk
mengkaitkan pengajaran dan pembelajaran dengan konteks situasi sehari-hari
siswa. Metode yang paling efektif untuk menyatuka akademik dan konteks
pengalaman pribadi siswa ada enam metode :
1. Ruang
kelas tradisional yang mengkaitkan meteri dengan konteks siswa.
2. Memasukkan
meteri bidang lain dalam kelas
3. Mata
pelajaran yang tetap terpisah, tetapi mencakup topik-topik yang saling
berhubungan.
4. Mata
pelajaran gabungan yang menyatukan dua arah atau lebih.
5. Menggabungkan
sekolah dan pekerjaan
6. Penerapan
tehadap hal-hal yang dipelajari di sekolah. (Johnson, 2008:99)
Ada
beberapa strategi pengajaran yang bisa dikembangkan oleh guru melalui
pembelajaran CTL, antara lain:
Pertama, pembelajaran berbasis masalah.
Sebelum memulai proses belajar mengajar dikelas, siswa terlebih dahulu diminta
mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk
mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah
merangsang siswa untuk berpikir kritis, mengarahkan siswa untuk bertanya, dan
mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.
Kedua, memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh
pengalaman belajar. Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan
diberbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, daan masyarakat.
Ketiga, memberikan aktivitas kelompok.
Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun
kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain.
Keempat, membuat aktivitas belajar mandiri.
Peserta didik tersebut mampumampu mencarai, menganalisis dan menggunakan
informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru.
Kelima, membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan
masysrakat. Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua
siswa yang memiliki eahliah khusus untuk menjadi guru tamu.
Keenam, menerapkan penilaian autentik. dalam
pembelajaran kontekstual, penilaian seperti ini lebih baik daripada menghafal
teks, siswa dituntut untuk menggunakan keterampilan berpikir mereka (Lailiyah,
2008, Eksperimentasi Pembelajaran Bahasa
Arab Kontektual Pada Siswa Kelas VI I Mts Muallimin Parakan Temanggung,
Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta).
Dalam
penelitian ini menggunakan strategi pembelajaran CTL meliputi, memanfaatkan
lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar dan memberikan aktivitas
kelompok.
2.1.5
Kelebihan
Dan Kekurangan CTL
Ferlinna
dan Alimshadeq mengungkapkan kelebihan dan kekurangan CTL. Kelebihan CTL
(Ferlinna dan Alimshadeq, 2013, CTL dalam
Pembelajaran Bahasa Arab II, makalah tidak diterbitkan, Yogyakarta, Jurusan
Pendidikan Bahasa Aran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) diantaranya:
1.
Pembelajaran
menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat
penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
2.
Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan
penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya
sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar
melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Dan
kelemahan CTL meliputi:
1.
Guru lebih intensif
dalam membimbing. Karena
dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi.
Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang
sebagai individu yang sedang berkembang. Dengan demikian, peran guru bukanlah
sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah
pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2.
Guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra
terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan
semula.
2.2
Berbahasa
Arab
Bahasa
menurut Kamus al-Wasith (dalam Nuha, 2012:30) adalah suatu lambang suara yang
digunakan oleh kaum untuk mengungkapkan maksud dan tujuan mereka. Ahli bahasa
berpendapat bahwa teori yang paling baik untuk mengelompokkan bahasa-bahasa
didunia adalah dengan cara mengumpulkan berdasarkan hubungan kekerabatan.
Dengan dasar itu, maka dapat dihitung bahwa bahasa-bahasa didunia jumlahnya
sekitar 3000 bahasa. Dan bahasa Arab termasuk dalam rumpun bahas Semit-Hamit
(Nuha, 2012:33).
Bahasa
Arab adalah sebuah bahasa yang terbesar dari segi jumlah penutur dalam keluarga
bahasa semitik. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Ibrani dan bahasa Aram.
Bahasa Arab modern telah diklasifikasikan sebagai suatu makrobahasa dengan 27
subbahasa dalam ISO 638-3. Bahasa Arab modern berasal dari bahasa klasik yang
telah menjadi bahasa kesustraan dan agama Islam sejak abad ke 6 (Nuha,
2012:32).
Bahasa
Arab telah memberi banyak kosakata kepada bahasa lain dari dunia Islam, sama
seperti peranan bahasa Latin kepada bahasa Eropa. Semasa abad pertengahan,
bahasa Arab merupakan alat utama budaya, terutama dalam sains, matematika, dan
filsafat. Sehinggga menyebabkan bahasa Eropa turut meminjam kosakata dari
bahasa Arab (Nuha, 2012:32).
Bahasa
Arab merupakan bahasa yang penting bagi umat islam, karena bahasa arab selain
sebagai alat komunikasi juga sebagai
bahasa agama. Oleh karena itu di madratsah bahasa Arab merupakan bahasa
wajib untuk dipelajari, sebagai bekal untuk mendalami ilmu pengetahuan Islam
yang lain.
Kelebihan
yang dimiliki Bahasa Arab (Vita, Pena. 2012, Metode Pembelajaran Bahasa Asing, http://devita-rahmawati.blogspot.com, diakses pada 03 Juni 2013).
adalah sebagai berikut :
1.
Bahasa Arab adalah bahasa Al Qur’an
2.
Bahasa Arab sebagai bahasa resmi yang digunakan dalam
dunia internasional
3.
Bahasa Arab sebagai bahasa penghubung antar umat islam
di dunia
Dengan menguasai bahasa Arab, orang muslim bisa memahami perkembangan ilmu
pengetahuan agama lebih mendalam.
4.
Bahasa arab kekal sepanjang zaman
5.
Bahasa Arab itu padat makna
6.
Bahasa Arab itu mudah dihafal dan tidak menjemukan
Adapun kekurangan bahasa Arab yang disini diartikan sebagai hambatan dalam
mempelajari bahasa Arab jika dilihat dari dua aspek, (Vita, Pena. 2012, Metode Pembelajaran Bahasa Asing, http://devita-rahmawati.blogspot.com, diakses pada 03 Juni 2013) yaitu:
1. Kebahasaan
Kesulitan dalam aspek bunyi karena adanya
perbedaan bunyi, ada fonem bahasa Arab yang tidak ada bandingannya dalam bahasa
Indonesia. Misalkan : Tsa, ‘ain, gain,
tha, kha, ha. Dan kesulitan dalam mendengarkan suara huruf yang berdekatan
makhrojnya, contoh: ha, sod, tsa, sa, kha.
2. Tenaga pengajar
Kebanyakan dari tenaga pengajar bahasa Arab di
Indonesia, ketika telah dimulai kegiatan belajar-mengajar, ia tidak menggunakan
bahasa Arab, hal ini mempengaruhi siswanya dalam berkomunikasi menggunakan
bahasa Arab. Padahal semakin sering siswa mendengar bahasa Arab ia akan semakin
dekat dengan bahasa Arab. Perlu diingat ketika hendak memberi latihan haruslah
melihat anak didiknya siap. Timbal balik dari siswa bisa dicontohkan dengan
mereka aktif bertanya bisa dilatih dengan menggunakan bahasa Arab.
2.2.1 Pembelajaran Bahasa Arab
Bahasa
Arab sudah diajarkan di Indonesia sejak Islam tersebar di bumi Nusantara, yaitu
kira-kira abad ke 13M. dahulu, pengajaan bahasa Arab hanya sekedar untuk
mendalami dan memahami ajaran Islam yang termaktub dalam alQur’an dan
al-Hadits. Seiring berkembangnyya zaman, orientasi pembelajaran bahasa Arab
mulai berkembang. Terbukti dengan pembelajaran bahas Arab sudah dimulai dari
pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi (Nuha, 2012:55).
Selama
ini, bahasa Arab menjadi salah satu pelajaran yang ditakuti oleh pelajar. Akan
tetapi, sebenarnya tidak demikian. Tanggapan siswa tersebut muncul akibat
penyeleksian materi, urutan, dan tata cara penyajian yang tidak sesuai bagi
pelajar (Nuha, 2012:60).
Dan
inilah tantangan guru dalam merubah paradigma siswa, yaitu dengan mengubah
proses pembelajaran bahasa Arab yang menakutkan menjadi pelajaran yang
menyenangkan. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbahasa Arab siswa.
2.2.2 Tujuan Pembelajaran Bahasa Arab
Tujuan
pembelajaran bahasa Arab secara teoritis berarti tujuan menumbuhkan kemampuan
berbahasa Arab. Dan tujuan pembelajaran bahasa Arab bagi pihak pendidik adalah
agar dapat menjadikan bahasa Arab mudah dikuasai oleh para pelajar. Sedangkan
tujuan bagi pihak pelajar adalah agar dapat menguasai bahasa Arab. (Mustofa dan
Hamid, 2012:5).
Tujuan
lain dari mempelajari bahasa Arab yaitu agar dapat menghasilkan ahli bahasa dan
sastra Arab, sehingga dalam proses pembelajaran yang sedemikian ketat dapat
menghasilkan anak didik yang mampu menggunakan bahkan mengajarkannya (Pasir,
Cah, 2013, Metode Pembelajaran Muhadatsah,
http://cahpasir84.wordpress.com,
diakses pada 05 Juni 2013).
Dan
pada umumnya motivasi dan dorongan mempelajari bahasa Arab di Indonesia adalah
untuk tujuan agama, yaitu untuk mengkaji dan memperdalam ajaran Islam dari
sumber-sumber tang berbahasa Arab, seperti al-Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab
turats, dan lain-lain (Mustofa dan Hamid, 2012:6).
2.2.3 Keterampilan Dan Kemampuan Bahasa Arab
Dalam
dunia pembelajaran bahasa, kemampuan menggunakan bahasa disebut “kemahiran
berbahasa (maharatul lughah). Pada
umumnya, semua pakar pembelajaran sepakat bahwa keterampilan dan kemahiran
berbahasa terbagi empat (Nuha, 2012: 83), diantaranya:
1.
Keterampilan Menyimak (Maharatul Istima’)
Kemampuan
seseorang dalam mencerna dan memehami kata atau kalimat yang diujarkan oleh
mitra bicara atau media tertentu (Hermawan dalam Nuha, 2012: 84-85).
2.
Keterampilan Berbicara (Maharatul Kalam)
Kemampuan
mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan
pikiran berupa ide, pendapat, keinginan, atau perasaan kepada mitra bicara
(Hermawan dalam Nuha, 2012:98-99).
3.
Keterampilan Membaca (Maharatul Qiro’ah)
Kemampuan
mengenali dan memahami isi sesuatu yang tertulis dengan melafalkan atau
mencernanya didalam hati (Nuha, 2012:108).
4.
Keterampilan Menulis (Maharatul Kitabah)
Kemampuan
dalam mendeskripsikan atau mengungkapkan isi pikiran, mulai dari aspek yang
sederhana, seperti merangkai kata, hingga aspek yang kompleks, seperti
mengarang (Hermawan dalam Nuha, 2012:123).
Dalam
hal ini peneliti memfokuskan pada satu keterampilan dari keempat keterampilan
diatas yaitu keterampilan berbicara (maharatul
kalam).
2.2.4 Kemampuan Berbicara (Maharatul Kalam)
Berbicara
adalah berkata; bercakap; berbahasa; melahirkan pendapat dengan perkataan,
tulisan dan sebagainya atau berunding.
keterampilan berhubungan erat dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa . Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas jalan pemikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan hanya latihan. Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Hidayah, Suci. 2012, Keterampilan Berbicara Dalam Tehnik Diskusi, http://sucihidayah.wordpress.com, diakses pada 03 Juni 2013).
keterampilan berhubungan erat dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa . Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas jalan pemikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan hanya latihan. Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Hidayah, Suci. 2012, Keterampilan Berbicara Dalam Tehnik Diskusi, http://sucihidayah.wordpress.com, diakses pada 03 Juni 2013).
Menurut
Hermawan (dalam Nuha, 2012:98-99) kemampuan berbicara adalah kemampuan
mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan
pikiran berupa ide, pendapat, keinginan, atau perasaan pada mitra bicara.
Berbicara
merupakan kegiatan berbahasa yang aktif dari seorang pemakai bahasa yang
menuntut prakasa nyata dalam penggunaan bahasa untuk mengungkapkan diri secara
lisan. Berbicara merupakan kemampuan berbahasa aktif dan produktif (Rosyidi dan
Ni’mah, 2012:88).
2.2.5 Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Arab
Berbicara menggunakan bahasa asing bukanlah hal mudah, sebagaimana jika
berbicara menguunakan bahasa ibu. Oleh karena itu, hendaknya dalam mengajarkan
keterampilan atau kemampuan berbicara perlu memperhatikan teknik pengajaran
yang sesuai dengan kemampuan anak didik. Harus diakui bahwa tidak semua orang
mampu dengan baik dan sempurana dalam berbicara menggunakan bahasa Arab.
Diantaranya, ada yang mempunyai penguasaan bahasa Arab sangat bagus, ada yang
sederhana, ada yang pemula, dan ada yang sma sekali belum bisa. Sehingga dibutuhkan teknik sebagaimana
tingkat kemampuan mereka (Nuha, 2012:100).
1.
Teknik
Pembelajaran Berbicara
Keterampilan bicara adalah kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi
atau kata-kata untuk mengekspresikan berupa ide, pendapat, keinginan atau
perasaan pada mitra bicara. Subyakto Mahaban (dalam Vita, Pena. 2012, Metode Pembelajaran Bahasa Asing, http://devita-rahmawati.blogspot.com, diakses pada 03 Juni 2013) membagi aktivitas
berbicara dalam 2 kategori, yaitu:
a) Latihan prakomunikatif
Latihan prakomunikatif dimaksudkan membekali
para pelajar dengan kemampuan dasar dalam berbicara yang sangat diperlukan
ketika terjun di lapangan seperti latihan penerapan pola dialog, kosa kata,
kaidah, dan lain sebagainya.
b) Latihan komunikatif
Latihan
komunikatif adalah latihan yang lebih mengandalkan kreatifitas para pelajar
dalam melakukan latihan. Pada tahap ini keterlibatan guru secara langsung mulai
dikurangi untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan kemampuan
sendiri. Para siswa dalam tahap ini ditekankan untuk lebih banyak berbicara
daripada guru. Sedangkan penyajian latihan diberikan secara bertahap, dan
dianjurkan agar materi latihan dipilih sesuai dengan kondisi kelas.
Dalam
Rosyidi dan Ni’mah (2012:93) teknik
pembelajaran keterampilan bahasa menurut tingkat kemampuan:
1)
Untuk tingkat pemula (mubtadi’)
a. Guru
mulai melatih bicara dengan memberi pertanyaan yang harus dijawab siswa.
b. Pada
saat yang sama siswa diminta untuk
belajar mengucapkan kata, menyusun kalimat, dan mengungkapkan pikiran.
c. Guru
mengurutkan pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh siswa sehingga menjadi tema
yang sempurna.
2)
Untuk tingkat menengah (mutawassith)
a. Belajar
berbicara dengan bermain peran
b. Berdiskusi
dengan tema tersebut
c. Bercerita
tentang peristiwa yang diamlami siswa
d. Bercerita
tentang informasi yang telah didengar maupun dibaca dari media informasi
3)
Untuk tingkat lanjut (mutaqaddim)
a.
Guru memilihkan tema untuk berlatih berbicara
b.
Tema yang dipilih hendaknya menarik dengan kehidupan
siswa
c.
Tema harus jelas dan terbatas
d.
Mempersilahkan siswa memilih tema
Dalam
penelitian ini peneliti akan meningkatkan kemampuan berbicara siswa dari
tingkat pemula, yaitu dapat dengan menguasai kosakata, merangkai kalimat
sederhana, dan mampu berbicara didepan teman-temannya.
Ada 2
macam keterampilan berbicara yaitu
percakan (muhadatsah) dan ungkapan
secara lisan (ta’bir al-syafahi)
(Rosyidi dan Ni’mah, 2012:91).
Peneliti
lebih menekankan pada ungkapan secara lisan dengan latihan komunikatif, dengan
melihat tingkat kemampuan siswa yang bermacam-macam, maka ungkapan secara lisan
lebih mudah digunakan pada setiap tingkat kemampuan siswa.
1.
Prinsip-prinsip
Pembelajaran Keterampilan Berbicara
a. Guru
memiliki kemampuan yang tinggi
b. Memulai
dengan suara yang serupa antara dua bahasa (bahasa ibu dan bahasa Arab)
c. Memulai
dengan kosakata yang mudah
d. Memperbanyak
latihan-latihan, seperti latihan membedakan pengucapan bunyi, latihan
mengungkapkan ide, dan lain sebagainya
(Rosyidi dan Ni’mah, 2012:90).
Peneliti
selaku guru pengajar akan memulai dari kosakata yng mudah, merangkai kata
secara sederhana, dengan pengkaitan pada kehidupan siswa, sehingga siswa mampu
menyesuaikan dan mengikuti proses pembelajaran, dan dapat meningkatkan
kemampuan berbicara bahasa Arab mereka.
2.
Pembelajaran
Kosakata (Mufradat)
Para
ahli sepakat bahwa pembelajaran kosakata adalah penting yang merupakan tuntutan
dan syarat dasar dalam pembelajaran bahasa asing. Dan siswa yang belajar apapun
dituntut untuk mengetahui kosakata bahasa yang sedang dipelajari, tanpa
mengetahui kosakata kiranya sulit bahkan tidak mungkin siswa akan mampu
menguasai keterampialn berbahasa. Boleh dikatakan diawal pembelajaran siswa
harus diarahkan untuk memperoleh penguasaan kosakata yang baik (Mustofa dan
hamid, 20012:68).
Yang
dimaksud pembelajaran kosakata bukan hanya sebagaimana yang dijelaskan diatas,
namun siswa dikatakan mampu menguasai kosakata jika siswa bisa menerjemahkan
dan menggunakannya dalam kalimat. Artinya tidak hanya sekedar hafal kosakata
tanpa mengetahui bagaimana menggunakannya dalam komunikasi yang sesungguhnya
(Mustofa dan Hamid, 2012:68).
Dalam
pembelajaran kosakata, guru harus menyiapkan
kosakata yang tepat bagi siswa. Oleh karena itu guru harus berpedoman
pada prinsip-prinsip dalam pemilihan kosakata yang diajarkan, yaitu:
1)
Memilih kosakata yang sering digunakan.
2)
Memilih kosakata yang banyak digunakan di
negara-negara Arab.
3)
Memilih kosakata yng digunakan dalam bidang-bidang
tertentu.
4)
Memilih kosakata yang familier dan terkenal serta
meninggalkan kata yang jarang digunakan.
5)
Memilih kosakata yang dapat digunakan dalam bidang
tidak terbatas pada bidang tertentu, contoh baitun lebih baik dipilih daripada
manzilun karena penggunaannya lebih umum.
6)
Memilih kata-kata Arab, walaupun ada bandingannya
dalam bahasa lain.
Dalam
penelitian ini lebih menekankan pada prinsip memilih kosakata yang sering
digunakan dan familier serta meninggalkan kosakata yang jarang digunakan.
3.
Petunjuk
Umum dan Ciri-Ciri Keberhasilan Pembelajaran Berbicara
Ada
beberapa petunjuk berkenaan dengan pembelajaran kalam, yaitu sebagai berikut:
a. Belajar
kalam yakni berlatih berbicara
b. Hendaknya
siswa mengungkapkan tentang pengalaman mereka
c. Melatih
memusatkan perhatian
d. Tidak
memutus dan sering membenarkan
e. Bertahap
f. Kebermaknaan
tema, siswa akan lebih termotifasi untuk berbicara jika temanya berhubungan
dengan hal yang bernilai pada kehidupan mereka (Mustofa dan Hamid, 2012:
89-90).
Dalam
Rosyidi dan Ni’mah (2012:91) ciri-ciri aktivitas berbicara yang berhasil adalah
sebagai berikut:
a. Siswa
berbicara banyak
b. Partisipasi
aktif dari siswa
c. Memiliki
motivasi tinggi
d. Bahasa
yang dipakia adalah bahasa yang diterima saat pelajaran.
4.
Masalah
dalam Aktivitas Keterampilan Berbicara
Beberapa
masalah dalam aktivitas keterampilan kalam siswa antara lain:
1) Siswa
grogi berbicara, karena khawatir salah dan takut dikritik.
2)
Tidak ada bahan untuk dibicarakan, karena tidak bisa
berfikir apa yang mau dikatakan dan tidak ada motivasi untuk mengungkapkan apa
yang dirasakan.
3)
Kurang atau tidak ada partisipasi dari siswa lainnya,
hal ini dipengaruhi oleh beberapa siswa yang cenderung mendominasi, yang lain
sedikit berbicara.
4)
Merasa tidak biasa berbicara bahasa asing selain
bahasa ibu (Rosyidi dan Ni’mah, 2012:91).
Penny Ur (dalam Rosyidi dan Ni’mah, 2012:92)
memberikan alternatif solusi bagi guru dalam menghadapi permasalahan diatas, yaitu:
1)
Bentuk kelompok, dengan membentuk kelompok akan
mengurangi rasa grogi pada siswa.
2)
Pembelajaran yang diberikan berdasarkan pada aktivitas
yang menggunakan bahasa yang mudah.
3)
Guru memilih topik yang menarik.
Masalah yang paling kompleks dalam kemampuan berbicara
yaitu keberanian. Karena keberanian menjadi kunci utama dalam berbicara. Tanpa
keberanian siswa tidak akan bisa mengungkapkan pikiran dan idenya secara
komunikatif dan aktif. Salah satu cara untuk menumbuhkan keberanian siswa yaitu
dengan cara belajar kelompok.
5.
Mengukur
Kemampuan Berbicara
Mengukur
kemampuan berbicara didasarkan pada tersampaikan atau tidaknya pesan atau makna
dari penutur kepada pendengar. Karena makna sebuah bahasa bersifat abstrak,
maka untuk mengukur gejala-gejala yang mendeskripsikannya makna tersebut
melalui jenis-jenis tes berbicara. Gejala-gejala tersebut adalah:
a. Pengucapan,
seberapa baik siswa dalam mengucapkan satu kalimat.
b. Tata
bahasa, seberapa baik siswa menjaga aturan tata bahasa dalam berbicara.
c. Kosakata,
seberapa banyak perbendaharaan kosakata yang dimiliki dan digunakan oleh siswa
dalam berbicara.
d. Pemahaman,
seberapa baik siswa dalam pemahaman terhadap komunikasi bahasa yang digunakan
(Rosyidi dan Ni’mah, 2012:149).
Untuk
mengukur keempat komponen diatas, dapat dilakukan beberapa bentuk tes berbicara
dibawah ini:
a.
Bercerita singkat
b.
Menceritakan kembali
c.
Berbicara Bebas
d.
Percakapan
e.
Interview (Rosyidi dan Ni’mah, 2012:150).
Dalam
penelitian ini peneliti akan menggunakan tes berbicara melalui bercerita
singkat dan berbicara bebas. Dengan mengukur kemampuan siswa dari aspek
pengucapan, kosakata, dan pemahaman.
6.
Macam-Macam
Pendekatan Pembelajaran Bahasa Arab
Dalam
pembelajaran bahasa Arab dikenal lima macam pendekatan, (Zainuddin dalam
Rosyidi dan Ni’mah, 2012:35-40) yaitu:
a. Pendekatan
Kemanusiaan (Humanistic Approach)
Pendekatan ini memfokuskan pada
peserta didik, dimana peserta didik dipandang sebagai manusia yang harus
diperlakukan secara manusiawi, bukan benda mati atau alat yang menerima
rangsangan dan meresponnya.
b. Pendekatan
Berbasis Media (Media Based Approach)
Pendekatan ini mengandalkan kepada
teknik penggunaaan media pengajaran.
c. Pendekatan
Aural-Oral (Aura-Oral Approach)
Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa
bahasa adalah apa yang didengar dan diucapkan, sedangkan tulisan hanya
representative dan ujaran.
d.
Pendekatan Analisis dan Non Analisis (Analytical and Non Analytical Approach)
Pendekatan ini disebut juga pendekatan
formal, karena ia memantulkan orientasi aliran sastra tentang analisa
bentuk-bentuk percakapan, pidato, dan teori berkomunikasi.
e.
Pendekatan Komunikatif (Communicative Approach)
Pendekatan ini perpaduan
strategi-stategi yang bertumpu pada satu tujuan tertentu yang pasti, yaitu
melatih murid menggunakan bahasa langsung dan kreatif, disamping penggunaan
tata bahasa.
f. Pendekatan
Pembelajaran Aktual
Dari perubahan proses yang berpusat
pada guru menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa melahirkan berbagai
pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk memberdayakan siswa. Diantaranya:
Pendekatan kontektual (CTL), PAKEM, dan PAIKEM.
Dari
berbagai pendekatan diatas, peneliti
menggunakan pendekatan aktual dalam jenis pendekatan kontekstual atau
yang sering kita kenal Contextual
Teaching and Learning (CTL).
2.3 Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL)
dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Arab Siswa (Maharatul Kalam)
Pembahasan prinsip kontekstual untuk
pembelajaran bahasa sangat erat kaitannya dengan pragmatik bahasa. Pragmatik
merupakan studi tentang kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan
kalimat-kalimat yang digunakan dengan konteksnya. Dengan demikian, pembelajaran
bahasa asing menurut prinsip ini
diajarkan dalam ungkapan-ungkapan
kalimat yang disesuaikan dengan kebutuhan konteks situasi.
Pembelajaran bahasa yang dilakukan
menurut kontekstual akan membantu
pembelajar mengaplikasikan kompetensi komunikatif atau kemampuan
berbicara yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa
apabila seseorang belajar bahasa asing, maka seyogyanya bahasa yang dipelajari
tersebut dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata, yakni mereka dapat
menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi. (Ferlinna dan Alimsadeq, 2013, CTL dalam Pembelajaran Bahasa Arab II,
Makalah tidak diterbitkan, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Kontekstual biasanya disamakan dengan
lingkungan, yaitu dunia luar yang dikomunikasikan melalui panca indera atau ruang
yang kita gunakan setiap hari. Dengan demikian, pengajaran dan pembelajaran
kontekstual merupakan sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang
menghasikan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari
kehidupan sehari-hari pembelajar (Harahap, 2012, Analisis Konsep Contextual Teaching Amd Learning dalam Pembelajaran Bahasa Arab, http://partomuanharahap.staincurup.ac.id , diakses pada 01 Juni 2013).
Menurut Fuad Efendy, CTL banyak memiliki
kesamaan prinsip dan karakteristik dengan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional telah lama
mengembangkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran secara umum, hal ini
sebagai upaya menjawab berbagai persoalan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Sebagai salah satu pendekatan
pembelajaran, CTL dapat diterapkan dalam semua pelajaran, termasuk bahasa Arab
(Latifa, Aini. 2012. Teknik Pembelajaran
Bahasa Arab, http://ainilatifah. blogspot.com , diakses pada 03 Juni 2013).
Dengan demikian, pendekatan CTL dapat
diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa Arab dengan harapan dapat
meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Arab siswa.
Pembelajaran
bahasa dalam kemampuan berbicara di kelas dapat menggunakan teknik belajar
dalam konteks interaksi kelompok (cooperating).
Guru membuat suatu kelompok belajar (learning
community). Dalam komunitas tersebut siswa berusaha untuk mengutarakan
pikirannya, berdiskusi dengan teman. Konsep dasar dalam teknik ini adalah
menyatukan pengalaman-pengalaman dari masing-masing individu. Teknik ini memacu
siswa untuk berkomentar, mengungkapkan gagasannya dalam komunitas belajar. Tahap
pertama, siswa diberikan peluang untuk berbicara. Apabila terdapat kesalahan
penggunaan bahasa, guru dapat memberikan pembenaran selanjutnya. Menumbuhkan
keterampilan berbicara, dimulai dengan menumbuhkan kepercayaan diri pada diri
siswa. Prinsip CTL memuat konsep kesalingbergantungan para pendidik, siswa,
masyarakat, dan lingkungan. Prinsip tersebut memacu siswa untuk turut
mengutarakan pendapat dalam memecahkan masalah. Prinsip diferensiasi dalam CTL
membebaskan siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, membebaskan siswa untuk
belajar dengan cara mereka sendiri. CTL merupakan salah satu alternatif
pembelajaran inovatif, kreatif, dan efektif (Nurul, 2010, Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching And Learning Dalam
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
http://nurul071644249.wordpress.com, diakses pada 05 Juni 2013).
Pelaksanaan
pembelajaran berbicara dengan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan
keberanian siswa dalam bercerita. Hal ini juga dapat mengembangkan daya
imaginasi mereka dan rasa percaya diri. Penggunaan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan proses belajar, dan kualitas belajar(Gunawan, Arief. 2012, PTK Peningkatan Keterampilan Berbicara
Melalui Pendekatan Kontekstual, http://gunawan-arief.blogspot.com, diakses pada 05 Juni 2013).
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Jenis
Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Menurut Sugiyono (2012:1) metode kualitatif adalah metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data berupa induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih pada menekankan makna daripada generalisasi.
Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam,
suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang
pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak. Oleh karena itu
dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi pada
makna. Generalisasi dalam penelitian kualitatif dinamakan transferability,
artinya hasil penelitian tersebut dapat digunakan ditempat lain, manakala
tempat tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda (Sugiyono,
2012:3).
3.2 Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian
ini adalah di MTs Miftahul Ulum Dusun Manggis Agung Desa Manggisan Kecamatan Tanggul Kabupaten
Jember, dengan pertimbangan bahwa sekolah tersebut belum pernah diadakan
penelitian yang serupa, sehingga diharapkan dapat memberi hasil yang diinginkan
guna meningkatkan mutu sekolah yang letaknya lumayan jauh dari perkotaan yang
cukup sulit untuk dijangkau.
Obyek penelitiannya adalah guru
bahasa Arab dan siswa kelas VIII B MTs Miftahul Ulum yang berjumlah 30 siswa.
3.3 Data
Penelitian
Data penelitian dalam
penelitian ini bersifat narasi, uraian dan juga penjelasan data dari informan,
baik dengan lisan yang dapat diketahui dengan wawancara maupun data dokumen
yang tertulis seperti foto. Data dalam penelitian ini adalah pendekatan CTL
dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Arab siswa kelas. Suasana kelas yang
monoton menyebabkan siswa menjadi pasif, sehingga menimbulkan rendahnya
kemampuan berbahasa Arab siswa. Karena belajar bahasa merupakan belajar aktif.
Dengan pembelajaran CTL diharapkan mampu membuat suasana kelas yang aktif dan
mampu meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Arab siswa. Dalam penelitian ini
obyek utama adalah siswa dan guru.
3.4 Sumber
Data
Kesesuaian
antara sumber informasi yang terkait dengan permasalahan penelitian sangatlah
penting. Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah tentang
pendekatan CTL dalam meningkatkan berbahasa Arab siswa.
Ada
dua sumber data, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah
sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti, dan sumber sekunder
adalah sumber yang tidak langsung memberikan data pada peneliti, seperti
dokumentasi.
Sumber data
primer dalam penelitian ini adalah orang yang terlibat langsung pada proses
pembelajaran bahasa Arab itu sendiri, untuk itu peneliti memerlukan responden
sebagai sumber data yang dibutuhkan, maka peneliti menentukan responden sebagai
berikut:
1. Guru Bahasa Arab kelas VIII B, yang
merupakan guru yang bertanggungjawab penuh terhadap
berjalannya proses belajar mengajar.
2. Siswa kelas VIII B, yang menjalani pembelajaran di kelas dan merasakan peningkatan kemampuan berbicara bahasa
Arab
3.5 Teknik
Pengumpulan Data
Menurut Sugiyono (2012:62) teknik pengumpulan
data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan
utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi
standar data yang diterapkan.
Dalam penelitiaan ini,
peneliti menggunakan 3 teknik pengumpulan data, yaitu:
1. Observasi
Nasution (dalam Sugiyono,
2012:64) mengatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para
ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia
kenyataan yang diperoleh dari observasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
observasi partisipatif lengkap. Observasi partisipatif lengkap adalah dalam
melakukan pengumpulan data, peneliti sudah terlibat sepenuhnya terhadap apa
yang dilakukan sumber data. Jadi suasananya natural, peneliti tidak terlihat
melakukan penelitian. (Sugiyono, 2012:66)
Dan dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan 3 tahap observasi (Sugiyono 2012:70) yaitu:
1. Observasi deskriptif
Di
lakukan peneliti pada saat memasuki situasi sosial tertentu sebagai obyek penelitian. Pada tahap
ini peneliti belum membawa masalah yang akan diteliti, maka peneliti melakukan
penjelajahan umum pada
proses pembelajaran bahasa Arab di kelas VIII B.
2. Observasi terfokus
Pada tahap ini peneliti sudah melakukan mini
tour observation, yaitu suatu observasi yang telah dipersempit untuk
difokuskan pada aspek tertentu. Pada tahap ini peneliti melakukan analisis
masalah siswa di kelas VIII B MTs Miftahul Ulum, sehingga dapat menemukan fokus
observasi, yaitu rendahnya kemampuan berbicara bahasa Arab siswa.
3. Observasi terseleksi
Pada tahap observasi ini peneliti telah
menguraikan fokus yang telah ditemukan sehingga datanya lebih rinci. Pada tahap
ini peneliti telah menemukan fokus yaitu kemampuan berbicara bahasa Arab siswa
rendah dan akan ditingkatkan dengan pendekatan CTL. Obyek utama
observasi adalah pendekatan CTL dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Arab siswa
kelas VIII B. Peneliti akan mengawasi proses pembelajaran bahasa Arab dengan
pendekatan CTL dalam meningkatkan kemampuan siswa berbicara bahasa Arab dikelas.
2. Wawancara
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara semiterstruktur.
Wawancara semiterstruktur adalah dimana dalam
pelaksanaannya lebih bebas dari wawancara terstruktur. Tujuan dari jenis
wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara terbuka, dimana pihak
yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara,
peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan
oleh informan, (Sugiyono, 2012:73-74).
Lincoln dan Guba (dalam Sugiyono, 2012:76) mengemukakan ada 7 langkah dalam
penggunaan wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif,
yaitu:
1. Menetapkan
kepada siapa wawancara itu akan dilakukan
Didalam
penelitian ini, wawancara dilakukan kepada guru bahasa Arab dan siswa kelas VIII B di MTs Miftahul Ulum
Tanggul.
2. Menyiapkan
pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan.
Pokok
masalah dalam penelitian ini yaitu pendekatan CTL dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Arab siswa.
3. Mengawali
atau membuka alur wawancara.
4. Melangsungkan
alur wawancara.
5. Mengkonfirmasikan
ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya.
6. Menuliskan
hasil wawancara kedalam catatan lapangan.
7. Mengidentifikasi
tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta waktu terlebih dahulu kepada
guru bahasa Arab, kapan dan dimana bisa melakukan wawancara. Dengan cara ini
maka suasana wawancara akan lebih baik, sehingga data yang akan diperoleh akan
lebih lengkap dan valid.
3. Dokumentasi
Dalam Sugiyono (2012:82) menyatakan, dokumen merupakan
catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi, peraturan,
kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa
dan lainnya.
Hasil penelitian dari wawancara dan observasi,
akan lebih kredibel atau dapat dipercaya kalau didukung oleh dokumen-dokumen
lainnya. Dokumentasi ini
merupakan semua yang menggambarkan proses pembelajaran bahsa Arab dengan
pendekatan CTL dalam meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Arab siswa. Didalam
penelitian ini, peneliti menggunakan dokumen berbentuk tulisan dan dokumen
berbentuk gambar, hasil tes berbicara siswa, dan nilai raport siswa.
3.6 Instrumen
Pengumpulan Data
1. Observasi
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian
adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen harus
“divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian dan
selanjutnya terjun kelapangan (Sugiyono, 2012:59).
Peneliti sebagai instrumen
dapat segera menganalisis data yang diperoleh, ditafsirkan, dan melahirkan
hipotesis. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan
secara langsung ke lokasi penelitian, yaitu di kelas VIII B. Peneliti mengamati proses pembelajaran
bahasa Arab dengan
pendekatan CTL, dan mengamati peningkatan berbicara bahasa Arab siswa. Peneliti akan dibantu dengan alat
pengambil gambar serta buku catatan untuk mendokumentasikan dan mencatat proses
pembelajaran yang berlangsung.
2. Wawancara
Wawancara yang digunakan hanya berupa garis
besar permasalahan yang akan ditanyakan kepada guru bahasa Arab dan siswa. Dengan memberikan pertanyaan kepada
guru dan siswa yang menjalani proses pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan
CTL dalam meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Arab siswa. Supaya hasil
wawancara dapat terekam dengan baik, dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan
atau sumber data, maka diperlukan alat-alat sebagai berikut:
a.
Catatan
dan pedoman wawancara, berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan
sumber data, yaitu guru bahasa
Arab dan siswa. Peneliti menggunakan notebook yang dapat digunakan untuk mencatat data hasil
wawancara.
b.
Alat perekam suara, berfungsi untuk merekam suara selama wawancara berlangsung. Peneliti
menggunakan handphone yang dapat
digunakan untuk merekam suara.
3. Dokumentasi
Didalam penelitian ini, selain dokumentasi hasil wawancara dan hasil observasi, juga diperlukan pengumpulan data baik yang bersumber dari sekolah. Peneliti
memerlukan dokumen yang menggambarkan proses pembelajaran bahasa Arab dengan
pendekatan CTL dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dokumentasi ini berupa foto kegiatan
pembelajaran, data siswa, hasil tes siswa, dan nilai raport
siswa.
3.7 Teknik
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif,
dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai
pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah
melakukan analisis terhadap jawabab yang diwawancarai. Bila jawaban yang telah
diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan
melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang
dianggap kredibel (Sugiyono, 2012:91).
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2012:91)
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif, dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu:
a. Data reduction atau reduksi data
Data yang diperoleh di lapangan
jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci.
Seperti yang telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah
data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.
b. Data display atau penyajian
data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian
kualitatif, penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie
chard, pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data
terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah
difahami.
c. Conclusion drawing atau verification
Langkah ketiga
dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah
bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada
tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.8
Pengecekkan
Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif
yang diuji adalah datanya. Oleh karena itu penelitian kualitatif lebih pada
menekankan pada aspek validitas (Stainback dalam Sugiyono, 2012:119).
Uji keabsahan data
pada penelitian ini menggunakan:
1.
Meningkatkan Ketekunan
Melakukan pengamatan secara lebih cermat dan
berkesinambungan. Dengan cara tersebut, maka kepastian data dan urutan peristiwa akan
dapat direkam secara pasti dan sistematis. Sebagai bekal peneliti untuk
meningkatkan ketekunan adalah dengan cara membaca berbagai referensi, buku
maupun hasil penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan
yang diteliti. Dengan membaca, maka wawasan peneliti akan semakin luas dan
tajam, sehingga dapat digunakan untuk memeriksa data yang ditemukan itu dapat dipercaya
atau tidak (Sugiyono, 2012:124).
Sebagai bekal peneliti untuk
meningkatkan ketekunan adalah dengan cara membaca berbagai referensi buku
maupun hasil penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan
temuan, semakin luas dan semakin tajam, sehingga dapat digunakan untuk
memeriksa data yang ditemukan itu dipercaya atau tidak.
2.
Menggunakan
Bahan Referensi
Yang dimaksud dengan bahan
referensi disini adalah adanya
pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Data
wawancara, perlu didukung dengan adanya rekaman wawancara. Data tentang
interaksi manusia, atau gambaran tentang suatu keadaan perlu didukung oleh
foto-foto. Alat bantu perekam data dalam penelitian kualitatif, seperti camera
dan alat perekam suara sangat
diperlukan untuk mendukung kredibilitas data yang telah ditemukan oleh peneliti. Dalam laporan penelitian,
sebaiknya data-data yang dikemukakan perlu dilengkapi dengan foto-foto atau
dokumen, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya (Sugiyono,
2012:128-129).
Untuk meningkatkan
kredibilitas data pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat pendukung
berupa handphone yang dapat difungsikan sebagai kamera (mengambil
gambar) dan merekam suara. Dengan adanya alat pendukung, peneliti akan lebih
mudah untuk meneliti dengan cermat, sehingga terdapat kesesuaian antara hasil
penelitian dengan keadaan yang sebenarnya.
3.
Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk
menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber
yang sama dengan teknik yang berbeda (Sugiyono, 2012:127).
Dan dalam penelitian ini,
peneliti mendapatkan data berdasarkan hasil observasi, dari hasil observasi
tersebut peneliti mengecek data dengan wawancara dan dokumentasi.
Komentar
Posting Komentar